KPU : Ikut Putusan MK atau DPR
KPU : Ikut Putusan MK atau DPR
____
Belum selesai air mata ini merefleksikan sukacita, kegembiraan, menyambut kado istimewa putusan MK, Nomor 60/PUU - XX1-/2024, menyangkut dukungan ambang batas suara partai politik dalam pilkada, tiba - tiba bak seperti gelombang tsunami, DPR menganulir keputusan KPU tersebut.
Tentu keputusan DPR yang menolak putusan MK, menunjukkan satu bentuk pembangkangan terhadap nilai - nilai hukum itu sendiri. Tidak patuh dan tidak taat terhadap konstitusi. Sebuah ironis, memilukan dan memalukan, DPR berbuat “ onani “ politik di depan umum atas kebodohannya.
Sikap pilihan politik DPR yang menolak putusan MK, tentu saja menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Publik - rakyat yang sadar akan pentingnya nilai - nilai demokrasi sebagai pilar kebangsaan, tentu akan bergerak dan melawan. Akan timbul perlawanan yang masif dimana - mana untuk menyelamatkan putusan MK.
Putusan MK, sesungguhnya merupakan langkah politik hukum yang maju, dan revolusioner, dalam menyikapi keprihatinan situasi kondisi politik setiap menjelang pilkada, yang semakin jauh dari suara aspiratif publik. Fenomena pilkada, munculnya calon tunggal - kotak kosong setidaknya mempertegas bahwa, putusan MK sebuah bentuk spirit untuk mengembalikan marwah kehidupan politik rakyat lebih hidup lagi.
Munculnya calon tunggal - kotak kosong setiap menjelang hajat pilkada, sesungguhnya merupakan wujud dari persekongkolan kejahatan politik ( baca : partai politik dan oligarki ). Dibalik calon tunggal - kotak kosong tentu ada motif - motif yang sedang dibangun direncanakan jika mereka terpilih, baik sebagai , Gubernur, Bupati, Walikota. Calon tunggal - kotak kosong dapat diartikan adanya permainan mafia politik di dalamnya.
Sulit sekali bahwa nalar politik para anggota DPR semakin bergerak maju kebelakang dan cenderung berprilaku primitif, bukannya lebih maju, cerdas, pintar, sebagai katalisator bagi pembangunan politik yang lebih demokratis. Sikap DPR yang menganulir putusan MK, yang memiliki kekuatan hukum bersifat final dan mengikat, sebuah bentuk kebodohan dan kekonyolan paling nyata.
Sebagaimana pendapat Bivitri Susanti, seorang ahli Hukum Tata Negara UI, sekaligus penggiat demokrasi, berpendapat bahwa, putusan MK yang bersifat final dan mengikat, tidak bisa diganti atau dianulir lewat Perppu atau revisi UU. Sikap pilihan DPR yang menolak putusan MK, semakin mempertegas bahwa, DPR tidak menghormati,menghargai lembaga konstitusi - lembaga hukum ( MK ).
Sebagai catatan kecil jika menelisik kewenangan MK, khususnya dalam 10 ayat (1), ada beberapa poin penting yang menjadi kewenangannya. Pertama, menguji undang - undang terhadap UUD 1945.Kedua,memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945. Ketiga, memutus pembubaran partai politik.Keempat, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sikap yang ditunggu adalah tentunya, sikap KPU sebagai organ paling penting sebagai penyelenggara pemilu. Artinya bahwa, KPU akan dan harus patuh terhadap putusan MK sebagai lembaga hukum. KPU tidak boleh patuh dan ikut atas putusan DPR. DPR bukan simbol hukum tapi simbol politik, dimana keputusan DPR, cenderung pada pola berpikir, sebatas kepentingan pribadi, dan kelompok. Menolak putusan MK itulah watak DPR.
Andaikan KPU dipaksa mengikuti alur berpikir DPR, secara politik KPU tentu telah masuk dalam ranah politik, tunduk dalam tekanan. Apa mungkin ketika pilkada dilaksanakan dengan mengabaikan putusan MK, lebih memilih putusan DPR, ketika terjadi sengketa pilkada, apakah MK akan melaksanakan ? Ini akan menjadi problem yang berkepanjangan. Yang dirugikan tentu para calon peserta pilkada, karena tidak ada kepastian hukum.
Sumber : Penulis Ketua K3PP Tubaba/Abbas karta
Posting Komentar