POLITIK BUTO CAKIL : FENOMENA PILKADA
Dalam mitologi jawa ' pewayangan ' buto cakil adalah bentuk simbol keserakahan dan kerakusan. Di dalam sifat watak buto cakil merasa paling hebat paling segalanya. Semuanya ingin dikuasainya dimilikinya tak pandang apakah itu sahabat, teman, kerabat, saudara darah sekalipun. Bagi buto cakil tak perduli.
Bagi buto cakil yang penting kekuasaan adalah segalanya apapun caranya harus dilakukan untuk meraih tujuan. Moralitas etika tak ada kamus dalam diri buto cakil.
Buto cakil akan bahagia senang bila orang lain menderita dan itu puncak kebahagiannya. Menyingkirkan orang lain dengan gaya petakilannya adalah gayanya.
Dalam kehidupan politik modernpun prilaku buto cakil kini menjadi seperti ' budaya ' yang seolah - olah itu adalah cara untuk meraih kekuasaan dengan cepat tanpa lawan tanding.
Lawan tanding bagi buto cakil adalah kamus yang harus dibrangus dan dihancurkan. Tak boleh ada lawan tandingi yang menyainginya. Persaingan kompetisi sesuatu yang harus dilenyapkan.
Namun sehabat apapun kekuasaan kekuatan yang dimiliki oleh buto cakil akan kalah dengan kebaikan dan kejujuran.
Dalam riwayat pada akhirnya buto cakil terbunuh oleh keserakahannya sendiri. Keris ( kekuasaan ) yang dimilikinya menembus dalam dirinya sendiri membunuh dirinya sendiri. Kelicikan keserakahan membunuh dirinya sendiri. Semua tipu daya pada akhirnya kembali dalam dirinya.
Suasana politik hari ini ( Pilkada ) tidak terlepas dari gaya prilaku buto cakil. Wajah muka serta prilaku pethakilan dan gigi bertaring tajam mengisyaratkan bahwa semuanya harus tunduk dan patuh takut kepadanya. Semua partai politik harus ikut atas kenginanannya tak boleh sedikitpun membangkang apalagi melawan.
Semuanya harus dalam genggaman tangannya. Jiwa politik buto cakil bukanlah berjiwa kompetisi seperti dalam ajaran azas demokrasi politik modern. Nilai - nilai etika moralitas bukanlah moralitas buto cakil.
Politik adu domba atau mengintimidasi lawannya merupakan pisau tajam yang menjadi pegangannya. Semua dilakukannya agar menjadi takut ciut untuk melawannya.
Fenomena politik kotak kosong dalam pilkada dengan mengkooptasi semua partai politik yang ada, dengan segala kekuatannya yang dimilikinya, setidaknya memberikan lukisan atau gambaran, bahwa prilaku buto cakil tidak hanya dalam dunia pewayangan namun real dalam kehidupan politik.
Kooptasi politik terhadap partai politik adalah cara yang seolah - olah memiliki legitimasi bahwa ' calon tunggal ' bentuk dari dukungan politik yang besar dari publik. Sesungguhnya itu semua adalah bentuk pembodohan dari proses kelicikan.
Sumber : Catatan Kecil K3PP Tubaba
Posting Komentar