Deforestasi Papua: Transisi Energi Hijau yang Hitam?
Deforestasi Papua: Transisi Energi Hijau yang Hitam?
PAPUA - Protes terhadap program pemerintah, mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga revisi RUU TNI, mendominasi pemberitaan. Namun, isu krusial lain terabaikan: deforestasi besar-besaran di Papua Selatan untuk proyek bioetanol.
Proyek Strategis Nasional (PSN) ini, yang bertujuan mengganti bahan bakar fosil dengan bioetanol dari tebu, membuka lahan seluas 2 juta hektare – setara tiga kali luas Pulau Bali.
Ironisnya, hanya 25% lahan tersebut cocok untuk tebu, sisanya 1,5 juta hektare tidak mendukung pertanian tebu optimal (Mongabay Indonesia & Bloomberg, 2024). Ini berarti hutan digunduli untuk tanaman yang tak bisa tumbuh subur.
Lebih memprihatinkan lagi, proyek ini dibungkus narasi “energi bersih”, padahal World Resources Institute (WRI) Indonesia mencatat emisi karbonnya enam kali lipat lebih tinggi daripada energi fosil yang ingin digantikan.
Proses produksi bioetanol juga membutuhkan air dalam jumlah besar, pupuk industri, dan menghasilkan emisi dari fermentasi. Klaim “hijau” terkesan hanya label semata.
Dampaknya meluas. Masyarakat adat di Merauke dan Boven Digoel, yang selama ini menjaga hutan dan tanah leluhur, terdampak. Sekitar 78% komunitas adat tak dilibatkan dalam konsultasi (Forest Peoples Programme & AMAN, 2023).
Hutan yang bagi mereka adalah sumber kehidupan, bagi negara dan investor hanya lahan kosong. Keanekaragaman hayati, termasuk burung cenderawasih dan kanguru pohon, pun terancam. Hutan tropis tua butuh ratusan tahun untuk pulih, dan penanaman monokultur justru memperparah kerusakan.
Mengapa isu ini kurang mendapat perhatian? Beberapa faktor berperan:
- Lokasi: Papua Selatan terpencil dari pusat kekuasaan dan media.
- Bahasa: Informasi valid banyak dari media asing (AP, Bloomberg, NGO internasional) berbahasa Inggris, menyulitkan akses warga Indonesia.
- Narasi: Label “transisi energi hijau” menyamarkan dampak negatifnya.
Sebelum merayakan Indonesia sebagai pelopor biofuel, mari evaluasi dampaknya di Papua. "Masa depan hijau" ini dibangun di atas penggusuran, pembakaran hutan, dan pembungkaman suara masyarakat. Pertanyaannya, seberapa "hijau" pembangunan yang merusak lingkungan?
Bye: Jazuli, pramoedya
Posting Komentar